Oleh: Endang Soegiartini* (Astronom)
Kisah tentang bulan Februari berasal dari zaman Romawi, dan kalender
(modern) kita secara tidak langsung didasarkan pada kalender Romawi
Kuno.Menurut cerita, raja pertama Roma, yaitu Romulus, menyusun kalender bulan yang terdiri dari 10 bulan, diawali pada ekuinoks musim semi di bulan Maret dan berakhir pada bulan Desember, sehingga Oktober merupakan bulan ke-8 dan Desember merupakan bulan ke-10. Jumlah hari dalam 1 tahun kalender Romawi adalah 304 hari. Sebenarnya kalender Romawi terdiri dari 12 bulan, tetapi 2 bulan terakhir tidak diberi nama karena 2 bulan sesudah bulan Desember merupakan musim yang amat dingin, sehingga tidak memberikan kepentingan dalam urusan panen.
Raja kedua dari Roma, yaitu Numa Pompilius, membuat kalender yang lebih akurat yang didasarkan pada pergerakan bulan. Satu tahun kalender berjumlah 354 hari. Numa menambahkan dua buah bulan, yaitu Januari dan Februari setelah Desember, untuk menjelaskan perpanjangan hari kalender yang ada. Numa juga menambahkan satu hari untuk bulan Januari, sehingga jumlah hari dalam satu tahun menjadi 355 hari. Bulan Februari tetap berjumlah 28 hari, dan sialnya, bagi Roma ritual pemurnian dan penghormatan bagi orang mati dilakukan pada bulan Februari (berasal dari kata februare yang berarti “untuk memurnikan”).
Kalender Romawi ini ternyata masih memiliki kekurangan dalam jumlah hari terkait kesesuaian dengan musim. Banyak upaya dilakukan untuk menyelaraskan kalender dengan musim tapi semua gagal.
Sekitar tahun 45 SM, Julius Caesar menugaskan seorang ahli untuk membuat kalender yang berdasarkan gerak Matahari, seperti kalender Mesir, untuk menggantikan kalender Romawi. Caesar menambahkan 10 hari dan satu hari ekstra di bulan Februari setiap empat tahun. Sekarang, satu tahun rata-rata berjumlah 365,25 hari, dan ternyata sangat dekat dengan jumlah hari rata-rata secara aktual, yaitu 365,2425 hari.
Kalender Julius Caesar terdiri dari 12 bulan dengan jumlah hari 31 atau 30, sehingga jumlah hari dalam satu tahun adalah 365 atau 366 hari. Caesar kemudian menginginkan namanya diabadikan dalam kalender tersebut, dengan menjadikan bulan ketujuh sesuai namanya yaitu Juli, dan sisa bulan lainnya diurutkan hingga akhir. Pada saat itu, bulan ketujuh sebenarnya hanya memiliki 30 hari, tapi oleh Caesar bulan tersebut dijadikan salah satu bulan dengan jumlah hari terbanyak, yaitu 31 hari. Akibat keputusan ini, maka harus ada 1 bulan lain yang jumlah harinya dikurangi. Entah mengapa, yang dipilih adalah bulan Februari. Satu hari dalam bulan Februari ditambahkan ke bulan Juli, sehingga bulan Februari hanya berjumlah 29 hari.
Setelah anak angkat Julius Caesar, yaitu Augustus, menjadi kaisar Roma, ia juga ingin memiliki satu bulan dengan jumlah hari yang panjang, yaitu 31 hari, dan ia memilih bulan setelah bulan Juli. Bulan tersebut dinamai Agustus. Lagi, satu hari pada bulan Februari diambil untuk membuat bulan Agustus berjumlah 31 hari. Karena itulah Februari hanya memiliki 28 hari, kecuali pada tahun-tahun kelipatan 4 mendapat tambahan 1 hari.
Kalender Julian masih memiliki kekurangan, yaitu adanya pergeseran tahun tropis 1 hari setiap 128 tahun. Hal ini menyebabkan penentuan ekuinoks musim semi menjadi tidak akurat. Solusi untuk mengatasi kesalahan ini adalah dengan menggantikan kalender Julian dengan kalender Gregorian pada tahun 1582, yang mengubah aturan penentuan tahun kabisat pada tahun-tahun kelipatan 100. Kalender Gregorian kemudian diadopsi di hampir semua negara, hingga saat ini.
Jadi, mengapa Februari begitu singkat? Alasannya adalah karena ‘ulah’ kedua pemimpin Roma tadi, dan dalam rangka menyelaraskan jumlah hari dalam 1 tahun Matahari.
Sumber gambar: http://www.istockphoto.com
*Endang Soegiartini menekuni Astronomi dan tercatat sebagai dosen di FMIPA ITB sejak 1993. Gelar doktor dalam bidang Astronomi diperolehnya dari ITB pada tahun 2012. Sub-bidang Astronomi yang kini digelutinya adalah Tatasurya, terutama dinamika benda-benda kecil di Tatasurya.
Sumber Informasi :
anakbertanya.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar