Kisah tentang bulan Februari berasal dari zaman Romawi, dan kalender
(modern) kita secara tidak langsung didasarkan pada kalender Romawi
Kuno.
Menurut cerita, raja pertama Roma, yaitu Romulus, menyusun kalender bulan yang terdiri dari 10 bulan, diawali pada
ekuinoks
musim semi di bulan Maret dan berakhir pada bulan Desember, sehingga
Oktober merupakan bulan ke-8 dan Desember merupakan bulan ke-10. Jumlah
hari dalam 1 tahun kalender Romawi adalah 304 hari. Sebenarnya kalender
Romawi terdiri dari 12 bulan, tetapi 2 bulan terakhir tidak diberi nama
karena 2 bulan sesudah bulan Desember merupakan musim yang amat dingin,
sehingga tidak memberikan kepentingan dalam urusan panen.
Raja kedua dari Roma, yaitu Numa Pompilius, membuat kalender yang
lebih akurat yang didasarkan pada pergerakan bulan. Satu tahun kalender
berjumlah 354 hari. Numa menambahkan dua buah bulan, yaitu Januari dan
Februari setelah Desember, untuk menjelaskan perpanjangan hari kalender
yang ada. Numa juga menambahkan satu hari untuk bulan Januari, sehingga
jumlah hari dalam satu tahun menjadi 355 hari. Bulan Februari tetap
berjumlah 28 hari, dan sialnya, bagi Roma ritual pemurnian dan
penghormatan bagi orang mati dilakukan pada bulan Februari (berasal dari
kata
februare yang berarti “untuk memurnikan”).
Kalender Romawi ini ternyata masih memiliki kekurangan dalam jumlah
hari terkait kesesuaian dengan musim. Banyak upaya dilakukan untuk
menyelaraskan kalender dengan musim tapi semua gagal.
Sekitar tahun 45 SM, Julius Caesar menugaskan seorang ahli untuk
membuat kalender yang berdasarkan gerak Matahari, seperti kalender
Mesir, untuk menggantikan kalender Romawi. Caesar menambahkan 10 hari
dan satu hari ekstra di bulan Februari setiap empat tahun. Sekarang,
satu tahun rata-rata berjumlah 365,25 hari, dan ternyata sangat dekat
dengan jumlah hari rata-rata secara aktual, yaitu 365,2425 hari.
Kalender Julius Caesar terdiri dari 12 bulan dengan jumlah hari 31
atau 30, sehingga jumlah hari dalam satu tahun adalah 365 atau 366 hari.
Caesar kemudian menginginkan namanya diabadikan dalam kalender
tersebut, dengan menjadikan bulan ketujuh sesuai namanya yaitu Juli, dan
sisa bulan lainnya diurutkan hingga akhir. Pada saat itu, bulan ketujuh
sebenarnya hanya memiliki 30 hari, tapi oleh Caesar bulan tersebut
dijadikan salah satu bulan dengan jumlah hari terbanyak, yaitu 31 hari.
Akibat keputusan ini, maka harus ada 1 bulan lain yang jumlah harinya
dikurangi. Entah mengapa, yang dipilih adalah bulan Februari. Satu hari
dalam bulan Februari ditambahkan ke bulan Juli, sehingga bulan Februari
hanya berjumlah 29 hari.
Setelah anak angkat Julius Caesar, yaitu Augustus, menjadi kaisar
Roma, ia juga ingin memiliki satu bulan dengan jumlah hari yang panjang,
yaitu 31 hari, dan ia memilih bulan setelah bulan Juli. Bulan tersebut
dinamai Agustus. Lagi, satu hari pada bulan Februari diambil untuk
membuat bulan Agustus berjumlah 31 hari. Karena itulah Februari hanya
memiliki 28 hari, kecuali pada tahun-tahun kelipatan 4 mendapat tambahan
1 hari.
Kalender Julian masih memiliki kekurangan, yaitu adanya pergeseran
tahun tropis 1 hari setiap 128 tahun. Hal ini menyebabkan penentuan
ekuinoks musim semi menjadi tidak akurat. Solusi untuk mengatasi
kesalahan ini adalah dengan menggantikan kalender Julian dengan kalender
Gregorian pada tahun 1582, yang mengubah aturan penentuan
tahun kabisat pada tahun-tahun kelipatan 100. Kalender Gregorian kemudian diadopsi di hampir semua negara, hingga saat ini.
Jadi, mengapa Februari begitu singkat? Alasannya adalah karena ‘ulah’
kedua pemimpin Roma tadi, dan dalam rangka menyelaraskan jumlah hari
dalam 1 tahun Matahari.
Sumber gambar:
http://www.istockphoto.com
*
Endang Soegiartini menekuni Astronomi dan tercatat sebagai dosen
di FMIPA ITB sejak 1993. Gelar doktor dalam bidang Astronomi
diperolehnya dari ITB pada tahun 2012. Sub-bidang Astronomi yang kini
digelutinya adalah Tatasurya, terutama dinamika benda-benda kecil di
Tatasurya.
Sumber Informasi :
anakbertanya.com